Kerusakan akhlak merupakan salah satu hal yang dituding oleh Syakib Arslan, salah seorang pemikir besar abad ke-20, sebagai faktor penyebab kemunduran umat Islam pada era ini.
Dalam bukunya Li Madza Ta’akhkhar al-Muslimun, ahli sejarah kelahiran Lebanon ini menyebutkan bahwa hilangnya nilai-nilai luhur yang diajarkan Al-Qur’an membawa efek dekadensi moral para pemimpin. Ketiadaan political will para negarawan untuk mengemban amanah umat melarutkan nilai agama dalam kepentingan-kepentingan nafsu duniawi, menyebabkan agama terpinggirkan di pojok-pojok masyarakat.
Tentu masih ada yang masih bisa kita lakukan untuk memperjuangkan umat ini. Beberapa mengambil jalan kekuasaan untuk merebut kembali kejayaan Islam, sedangkan beberapa yang lain menawarkan jalan pendidikan; jalan yang lambat namun bertahan lebih lama.
Baca Juga: Informasi Pendaftaran Islamic Center Wadi Mubarak Tahun 2022-2023
Di antara jalan pendidikan tersebut adalah mendekatkan kembali umat Islam kepada Al-Qur’an yang mereka miliki; bahkan sejak usia dini.
Memberi ‘Nafas Qur’ani’ Sejak Dini
Usaha untuk menciptakan kembali generasi qurani mesti dimulai sedini mungkin—kalau bisa—sejak nafas pertama si buah hati. Karena hanya dengan cara itu kita dapat mendidik penerus perjuangan yang mencintai Al-Qur’an, sebelum mereka terkontaminasi oleh lingkungan masyarakat yang cenderung merusak.
Dengan pendekatan yang baik dan manusiawi, potensi anak-anak usia dini (2-7 tahun) sangatlah mungkin. Sebagaimana disebut oleh Muhibbin S., anak-anak pada masa perkembangan kognitif pra-operasional sudah memiliki kesadaran object permanence, dalam artian ia sudah sadar bahwa suatu benda itu tetap ada di tempat meski ditinggalkan dan tidak terlihat lagi. Dalam penyataan yang lebih singkat, ia sudah mampu menghafal.
Bukan hanya itu, dalam merespon lingkungan, mereka juga memiliki kemampuan untuk meniru perilaku orang lain. Imitasi adalah salah satu bentuk perkembangan kognitif anak. Maka sudah barang tentu, lebih baik menyibukkan anak untuk meniru-niru para qurra` dibanding para penyanyi bukan?
Dari situ, harus bagi kita untuk memberikan ‘nafas-nafas qurani’ kepada mereka sejak dini, mulai dari memperdengarkan murattal, mengajak mereka mengaji, memberi mereka reward bila mereka ketika berhasil menghafal surat-surat pendek, dan lain sebagainya, agar ‘nafas-nafas qurani’ tersebut dapat hidup dalam relung hati mereka dan menjadi cinta pertama mereka.
Baca Juga 5 (Lima) Manfaat Husnuzan Kepada Allah Ta’ala
Menghafal adalah Langkah Awal
Salah satu ‘nafas qurani’ tersebut adalah memberi mereka motivasi untuk menghafal Al-Qur’an. Karena dengan menghafal, akal pikiran mereka tertambat kepada Al-Qur’an dan membuat mereka lebih intens untuk terus bersama Al-Qur’an.
Helena Boyle dalam Quranic Schools: Agents of Preservation and Change, mengutip komentar tidak baik dari Zerdoumi N. mengenai lembaga-lembaga pendidikan Al-Qur’an, bahwa pendidikan menghafal Alquran itu tidak produktif secara intelektual maupun moral juga tidak membangkitan minat dan bakat siswa.
Hal ini dibantah oleh Boyle, bahwa pandangan miring seperti ini disebabkan Zerdoumi melihat menghafal Al-Qur’an itu adalah akhir dari pembelajaran, padahal menghafal Al-Qur’an sebenarnya adalah awal dari perjalanan intelektual seorang muslim. Setelah menghafal, mereka baru akan mulai membangun dasar-dasar keilmuan dan moralitas dengan terus berpegang kepada Al-Qur’an.
Apapun yang mereka pelajari setelah itu, baik itu akidah, fiqih, hadis ataupun biologi, matematika, dan sosiologi, mereka akan tetap melirik kembali kepada Al-Qur’an.
Maka, menghafal Al-Qur’an bukanlah puncak dari prestasi intelektual seorang anak, justru ia adalah langkah awal dari kembalinya umat pada posisi peradaban yang tinggi.
Baca Juga: Wisuda Pendidikan Guru Tahfizh Anak Usia Dini Sahabat Qur’an (PG-TAUD SaQu) Angkatan XV
‘Alquran Berjalan’, Bukan ‘Mushaf Berjalan’
Mari kita kembali ke pembicaraan awal kita, yaitu tentang perbaikan akhlak. Sebagaimana jelas ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Al-Qur’an tercermin pada akhlak Rasulullah ﷺ :
عَنْ يَزِيدَ بْنِ بَابَنُوسَ ، قَالَ :دَخَلْنَا عَلَى عَائِشَةَ، فَقُلْنَا يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، مَا كَانَ خُلُقُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَتْ: كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ.
Dari Yazid ibn Babanus, ia mengatakan: “Kami mendatangi Umm al-Mu’minin (‘Aisyah radhiallahu ‘anha), lalu kami berkata: ‘Wahai Umm al-Mu’minin! Bagaimana akhlak Rasulullah ﷺ dulu?’ Ia pun menjawab, ‘Akhlaknya adalah (sebagaimana) Al-Qur’an’”
(HR. Al-Bukhari)
Penjelasan Umm al-Mu’minin di atas memberi kita gambaran bagaimana Rasulullah ﷺ menjadi role model dari nilai-nilai yang terkandung di Al-Qur’an. Perbuatan-perbuatannya tidak pernah lepas dari garis-garis yang sudah ditetapkan Al-Qur’an. Beliau ﷺ, singkatnya, adalah ‘Alquran yang berjalan’ di muka bumi ini.
Tapi bagaimana menghafal Al-Qur’an bisa memperbaiki akhlak generasi buah hati kita? Apa ada kaitan langsung antara keduanya? Ataukah ada penghubung antara dua proses tersebut?
Boyle, masih pada bukunya, juga mengangkat teori embodiment (penjelmaan); yaitu bagaimana menghafal Al-Qur’an adalah proses penjelmaan Al-Qur’an, dari nilai-nilai yang hanya di dalam teks menjadi hidup di tengah masyarakat.
Dalam ungkapan lain, menghafal Al-Qur’an adalah investasi awal menciptakan ‘Al-Qur’an berjalan’, insan yang menjadikan Al-Qur’an sebagai inspirasi kehidupan.
Simak Live Streaming Qur’anic Parenting Rambu-Rambu Penting Dalam Mendidik Anak
Dalam salah satu karyanya, Ma’alim at-Tanzil, Sayyid Quthb menerangkan bahwa seharusnya, orang yang mempelajari Al-Qur’an mesti berorientasi pada pengamalan. Ya, inilah penghubung yang mengaitkan proses menghafal Al-Qur’an dan memperbaiki akhlak.
Disamping itu, perlu bagi guru-guru Al-Qur’an kita untuk bisa mengajarkan nilai-nilai yang terkandung. Tanpa hal tersebut, kita hanya bisa menciptakan para penghafal Al-Qur’an, bukannya pengamal Al-Qur’an.
Justru berbahaya ketika yang tercetak bukannya ‘Al-Qur’an yang berjalan’, malah ‘mushaf berjalan’. Hanya ada lisan yang mampu membaca tanpa penghayatan. Akhlak-akhlak Al-Qur’an tidak mewarnai hidup mereka, malah Al-Qur’an menjadi label dagang untuk memperlaris ‘jualan’ mereka.
Generasi yang seperti itu malah terperosok lebih dalam kedalam jurang dekadensi moral karena menyamarkan nafsu-nafsu duniawi mereka dengan jubah kesalehan.
Penutup
Umat Islam perlu dibuat dekat kembali dengan Al-Qur’an, terutama sekali generasi-generasi mudanya yang akan memegang tali kendali umat di masa mendatang.
Salah satu jalannya adalah memanfaatkan usia dini anak-anak untuk membuat mereka cinta pada Al-Qur’an dengan menghafalnya.
Sembari menghafal, nilai-nilai akhlak yang terkandung juga mesti diajarkan. Barulah kemudian mereka mulai meneruskan perjalanan intelektual membangun peradaban Islam kembali, sembari terus melabuhkan hati kepada Al-Qur’an.
Wallahu a’lam.
Penulis: Gilang Eksa Gantara, Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Wadi Mubarak
Editor: Al.Choer