Ibu adalah madrasah yang paling utama dalam pembentukan kepribadian anak. Ibu adalah “gudang ilmu”, “pusat peradaban” dan “wadah” yang menghimpun sifat-sifat akhlak mulia. Ibu berperan besar dalam pembentukan watak, karakter dan kepribadian anak-anaknya. Ia adalah sekolah pertama dan utama sebelum si kecil mengenyam pendidikan di sekolah manapun.
Peran ibu tidak bisa tergantikan oleh siapapun. Ibu memiliki peran lebih dari sekolah yakni membangun kecerdasan emosional anak bahkan membangun kecerdasan spiritual anak. Awal mula tumbuhnya generasi baru adalah dalam asuhan ibu, yang ini semua menunjukkan mulianya tugas kaum wanita dalam (upaya) memperbaiki generasi bangsa.
Menjadi seorang ibu adalah sebuah kehormatan, oleh karenanya, Islam memandang posisi ibu sebagai posisi paling penting. Kedudukan ibu ini sangat mulia. Ibu juga tiang negara, bila ia baik maka negara akan menjadi baik dan bila ia rusak maka negara pun akan hancur.
Baca juga: Menang Menjaga Niat, Mahasiswa STIU WM Sabet Juara 1 Musabaqah Hifzhul Qur’an di Jakarta
Dari Mu’awiyah bin Haidah Al Qusyairi radhiallahu’ahu, beliau bertanya kepada Nabi: “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya hasan)
Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Hadits tersebut menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang terhadap seorang ibu, harus tiga kali lipat besarnya dibandingkan terhadap seorang ayah. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kata ibu sebanyak tiga kali, sementara kata ayah hanya satu kali. Bila hal itu sudah kita mengerti, realitas lain bisa menguatkan pengertian tersebut. Karena kesulitan dalam menghadapi masa hamil, kesulitan ketika melahirkan, dan kesulitan pada saat menyusui dan merawat anak, hanya dialami oleh seorang ibu. Ketiga bentuk kehormatan itu hanya dimiliki oleh seorang ibu, seorang ayah tidak memilikinya. (Tafsir Al-Qurthubi, Jilid 10 hal. 239)
Oleh: Tanti Ummu Fadhlan
Baca sebelumnya Sosok Ibu Teladan Dalam Sejarah