(Ditulis berdasarkan Pemaparan Materi Kuliah Umum STIU Wadi Mubarak oleh Wakil Ketua MPR RI H. Ahmad Muzani, S.Sos. Jum’at, 25/6/2021)
Persatuan merupakan salah satu hal yang mendukung dan melahirkan rasa aman. Masyarakat Indonesia bisa berangkat dan belajar di sekolah dengan aman. Para orang bisa berangkat kerja dengan aman. Semua ini adalah buah adanya persatuan.
Kita bisa belajar dengan aman. Orang tua kita bisa berangkat kerja dengan tenang. Itu disebabkan negara kita aman. Kita bisa aman, karena ada persatuan yang telah telah diwarisi oleh para pendiri bangsa ini.
Sejarah mencatat, kehendak mewujudkan persatuan senantiasa menjadi semangat bangsa, terutama para pejuang dan ulama. Peristiwa Sumpah Pemuda pada tahun 1928 dan perubahan sebagian redaksi dalam Piagam Jakarta bisa menjadi contoh dari bagaimana para pahlawan menjaga persatuan akan kedaulatan negeri.
Dalam Sumpah Pemuda, jauh sebelum kemerdekaan, para pemuda bersepakat menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Padahal, kala itu bahasa Melayu bukanlah bahasa mayoritas dari negeri besar ini.
Dalam peristiwa Piagam Jakarta, para pejuang yang juga berlatar belakang ulama akhirnya mengambil keputusan yang tidak mudah dengan mengubah redaksi “dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya” dan mencukupkan dengan redaksi pengganti berupa sila pertama pancasila.
Ini merupakan pengorbanan terbesar umat Islam kala itu. Pancasila adalah konsensus yang lahir dari pengorbanan umat untuk tidak memaksakan kehendak menjadikan Islam sebagai dasar agama. Persatuan jadi kehendak lain yang lebih diutamakan.
Persatuan, dengan demikian, merupakan sebuah kearifan bangsa yang harus dipertahankan supaya rasa aman bagi warga tetap terjaga. Kearifan inilah yang menjadikan kita bangsa yang kuat.
4 Pilar Negara dan Pendidikan Islam
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional menggunakan kata kunci iman dan taqwa dalam rumusan tujuan pendidikan. Ini mengandung makna bahwa pendidikan agama, termasuk pendidikan Islam merupakan implementasi menegakkan pilar-pilar negara.
Tidak ada cara untuk mewujudkan iman dan taqwa selain melalui pendidikan agama. Berkembangnya lembaga pendidikan Islam, baik jumlah maupun kualitas, merupakan hal positif yang mendukung pencapaian tujuan pendidikan bangsa.
Pendidikan Islam sebagai wujud tegaknya pilar negara harus memiliki semangat persatuan. Persatuan akan berdampak pada semakin besarnya juga peluang dan kesempatan dakwah. Persatuan membuka peluang dakwah.
Baca Juga: STIU Wadi Mubarak Menggelar Kuliah Umum Bersama Wakil Ketua MPR RI
Peran STIU Wadi Mubarak Bogor dalam Membangun 4 Pilar Negara
Mahasiswa STIU WM harus menghayati nilai persatuan sebagai nilai kearifan bangsa yang harus dirawat dan dikembangkan. Penghafal Al-Quran memiliki potensi yang tinggi untuk mampu mempelajari berbagai disiplin ilmu dengan baik.
Jadilah mahasiswa muslim yang kreatif, inovatif dan senantiasa menjadi bagian dari solusi untuk setiap tantangan zaman. Sebagai seorang muslim, mahasiswa STIU WM harus memiliki cara pandang yang positif terhadap setiap tantangan. Situasi pandemi bisa jadi contoh.
Ilmuwan memperkirakan pandemi baru berakhir beberapa tahun lagi. Sikap tawakal dan ikhlas terhadap qadha dan qadar Allah menjadikan seorang muslim lebih berpotensi memiliki sikap positif. Sikap positif ini kemudian mampu mendorong sikap kreatif, inovatif dan senantiasa tergerak mencari solusi.
Dalam konteks sebagai seorang akademis sekaligus calon dai, mahasiswa STIU WM dituntut senantiasa mengambil peran untuk menjadi bagian solusi melalui ilmu yang dimilikinya. Jadilah solusi di setiap tantangan umat dan bangsa, sebagaimana para pejuang dan ulama terdahulu melakukannya.
Peran ini hanya bisa diemban dengan sikap yakin terhadap kebenaran dan diikuti dengan sikap sabar dan upaya penyampaian yang baik sehingga persatuan senantiasa bisa terjaga. Hafalan Al-Quran dan ilmu agama yang dimiliki harus mampu menjadi berkah bagi terrawatnya persatuan bangsa dan negara. (ARH)
Editor: Al.Choer