Ditulis oleh: Agus Fadilla Sandi, Ketua Bagian Kepengasuhan STIU-WM
Firman Allah ﷻ
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّن بُيُوتِكُمْ سَكَنًا وَجَعَلَ لَكُم مِّن جُلُودِ الْأَنْعَامِ بُيُوتًا تَسْتَخِفُّونَهَا يَوْمَ ظَعْنِكُمْ وَيَوْمَ إِقَامَتِكُمْ ۙ وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَىٰ حِينٍ
“Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).”
(Q.S. An-Nahl [16]: 80)
“Rumahku Surgaku”, demikianlah ungkapan yang didambakan banyak orang. Berharap keindahan dan keberkahan yang ada di Surga dapat dirasakan sejak hidup di dunia. Sebab tidak ada jaminan, bahwa kita dapat merasakan Surga di akhirat kelak. Maka setidaknya, saat hidup di dunia ini kita berupaya menjadikan Rumah kita serasa Surga.
Hakikat Rumah
Secara bahasa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rumah/ru·mah/ n, berarti: bangunan untuk tempat tinggal; bangunan pada umumnya (seperti gedung). Adapun dalam bahasa Arab, rumah disebut بَيْت (baitun). Baitun berasal dari kata kerja باتَ (baa-ta) yang artinya; bermalam.
Baca Juga:
5 Alasan Penting Pendidikan Al-Qur’an Sejak Usia Dini
Menjadi Pendidik Yang Positif
Berdasarkan defenisi tersebut, maka “rumah” dalam bahasa Indonesia lebih ditekankan pada makna fisik bangunan, sedangkan dalam bahasa arab bermakna fisik dan fungsi (bermalam).
Melihat makna dan fungsi rumah di atas, maka idealnya rumah dijadikan sebagai tempat tinggal yang sifatnya sementara atau sekedar bermalam. Bermalam di rumah dimaksudkan untuk mendapatkan ketenangan dari yang sebelumnya bergejolak. Yakni, gejolak kehidupan dunia sejak pagi hingga senja.
Sejalan dengan firman Allah ﷻ dalam Surat An-Naba’ [78] ayat 10-11: وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (dan Kami jadikan malam sebagai pakaian), وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan).
Rumah hanyalah tempat singgah, bukan tempat bermegah. Tempat sekedar menyimpan berkas, bukan menimbun emas. Tempat untuk beristirahat, bukan tempat hati tertambat. Rumah yang hakiki bukan tentang fisik dan perkakasnya, tapi tentang orang dan nilai yang ada di dalamnya.
Dengan demikian, pembahasan rumah tidak sebatas tentang desain bangunan, lebih penting dari itu adalah bagaimana mengokohkan tiap individu dan menumbuhkembangkan nilai-nilai mulia di dalamnya.
Rumah Indah nan Berkah
Rumah bukanlah segalanya, tapi ia menjadi sarana hidup di dunia. Dari rumah yang baik akan lahir generasi yang baik pula. Sebab rumah adalah sarana pendidikan karakter bagi setiap anggota keluarga.
Rumah akan terasa layaknya Surga jika ia diliputi oleh keindahan dan keberkahan. Sehingga tiap orang di dalamnya merasakan ketenangan dan kenyamanan. Layaknya Penghuni Surga yang ingin kekal di dalamnya.
Keindahan tidak dapat diraih hanya sekedar memperbanyak aksesoris di dalam rumah. Namun lebih dari itu, ialah menjaga nilai kebersihan dan kesederhanaan. Menjaga kebersihan merupakan bagian penting dalam Islam. Allah ﷻ berfirman dalam Surat At-Taubah [9] ayat 108, وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (Allah Menyukai orang-orang yang bersih).
Adapun kesederhanaan merupakan sikap hidup yang berkecukupan dan tidak berlebihan. Disebutkan dalam Hadits, bahwa kesederhanaan adalah bagian dari iman. Rasulullah bersabda, أَلَا تَسْمَعُونَ إِنَّ الْبَذَاذَةَ مِنَ الْإِيمَانِ، إِنَّ الْبَذَاذَةَ مِنَ الْإِيمَانِ “Dengarkanlah sesungguhnya kesederhanaan sebagian dari iman, sesungguhnya kesederhanaan sebagian dari iman.” (H.R. Abu Dawud).
Baca Juga: Keutamaan Mendengarkan Al-Qur’an, Bagian 1
Selaku Umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita perlu meneladani bagaimana potret rumah beliau semasa hidup. Rasulullah menjalani hidup dengan cara yang sangat sederhana. Sebagai pemimpin umat, beliau tidak tinggal di rumah mewah apalagi istana yang megah.
Sebaliknya, Rasulullah tinggal di rumah yang hampir menyerupai gubuk. Kala berada di Madinah, rumah beliau bersama Aisyah hanya berukuran sekitar 5 x 4,5 meter dan tingginya 3 meter, berlantaikan tanah. Di dalamnya hanya ada sebuah kamar berukuran 3 x 3,5 meter dengan tempat tidur berupa tikar yang sederhana.
Aisyah radhiallahu anha menuturkan, “Sering kali kami melewati masa hingga 40 hari, sedang di rumah kami tidak pernah ada lampu yang menyala dan dapur kami tidak pernah mengepul. Maka orang yang mendengarnya bertanya, ‘Jadi apa yang kalian makan untuk bertahan hidup?’ Aisyah menjawab, “Kurma dan air saja, itu pun jika dapat,” (HR. Ahmad).
Dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Baihaqi, Ummul mukminin menuturkan, “Rasulullah tidak pernah kenyang tiga hari berturut-turut. Sebenarnya jika kita mau, kita bisa kenyang, akan tetapi beliau selalu mengutamakan orang lain yang lapar daripada dirinya sendiri.”
Demikian gambaran keindahan rumah Sang Teladan. Senantiasa bersih dan sederhana yang akhirnya berbuah pada kenyamanan. Sebaliknya, rumah yang mewah dan megah hanya akan menambatkan hati pemiliknya pada cinta dunia yang berlebihan. Menjadi lalai dari hakikat hidup yang sementara.
Allah ﷻ telah mengingatkan keadaan manusia yang lalai melalui firman-Nya:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2)
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur” (
Q.S. At-Takatsur [102]: 1-8)
Editor: Ummu Fahdlan//Al.Choer
Baca Sebelumnya: Macam-Macam Air – Air Suci Namun Tidak Mensucikan & Air Najis