Raih Kualitas Shalat Terbaik Melalui Hafalan Al-Qur’an
Para Penghafal Al-Qur’an dengan jumlah hafalan yang dimilikinya, maka ia mendapat peluang besar untuk meraih kualitas shalat terbaik. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa shalat yang paling afdhal adalah Qunut yang lama.
وَعَنْ جَابِرٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَيُّ الصَّلاَةِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ : (( طُولُ القُنُوتِ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ . المُرَادُ بِـ (( القُنُوْتِ )) : القِيَامُ .
Jabir RA berkata, “Rasulullah ﷺ ditanya, ‘Shalat manakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Yang lama berdiri.’ [HR. Muslim, no. 756]. Yang dimaksud dengan qunut adalah berdiri.
قال النووي : المراد بالقنوت هنا طول القيام باتفاق العلماء فيما علمت . أ.هـ
Menurut Imam Nawawi, sebagaimana disepakati oleh para ulama, Qunut berarti lamanya waktu berdiri pada saat shalat.
Qunut sendiri, secara bahasa ada beberapa makna yaitu dawamuth tha’ah (terus menerus dalam ketaatan), thulul qiyam (berdiri yang lama), sukut (diam), ad-du’aa (berdoa). Sedangkan kalau para fuqaha menyebut qunut, maka yang dimaksud adalah doa dalam shalat saat berdiri. Namun sesuai dengan konteks hadits tersebut diatas, Qunut berarti berdiri.
Para penghafal Al-Qur’an memiliki kesempatan terbesar untuk mendapatkan keutamaan ini. Mereka bisa berdiri cukup lama di dalam shalatnya (terutama shalat malam dan shalat-shalat sunnah lainnya) dengan membaca Al-Qur’an sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ yaitu dengan membaca surat Al Baqarah, An Nisa, Al Imran dalam satu rakaat pada waktu melaksanakan shalat malam.
وَعَنْ حُذَيْفَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ النَّبيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ البَقرَةَ ، فَقُلْتُ : يَرْكَعُ عِنْدَ المئَةِ ، ثُمَّ مَضَى ، فَقُلْتُ : يُصَلِّي بِهَا في رَكْعَةٍ فَمَضَى ، فَقُلْتُ : يَرْكَعُ بِهَا ، ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ، ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا ، يَقرَأُ مُتَرَسِّلاً : إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيْحٌ سَبَّحَ ، وَإذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ ، وَإذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ، ثُمَّ رَكَعَ ، فَجَعَلَ يَقُولُ : (( سُبْحَانَ رَبِّيَ العَظِيمِ )) فَكَانَ رُكُوعُهُ نَحْواً مِنْ قِيَامِهِ ، ثُمَّ قَالَ : (( سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ، رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ )) ثُمَّ قَامَ طَوِيْلاً قَِريْباً مِمَّا رَكَعَ ، ثُمَّ سَجَدَ ، فَقَالَ : (( سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى )) فَكَانَ سجُودُهُ قَرِيْباً مِنْ قِيَامِهِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Dari Hudzaifah RA, ia berkata, “Aku shalat bersama Nabi ﷺ pada suatu malam. Maka beliau membuka shalat tersebut dengan surah Al-Baqarah. Lalu aku berkata (dalam hati), ‘Beliau akan rukuk pada ayat yang keseratus, kemudian seratus ayat pun berlalu, beliau melanjutkan bacaannya.’ Lalu aku berkata, ‘Beliau akan shalat dengan surah Al-Baqarah dalam satu rakaat, kemudian ternyata beliau meneruskan bacaannya.’ Lalu aku berkata, ‘Beliau akan segera rukuk, dan ternyata beliau memulai membaca surah An-Nisa’ hingga selesai. Kemudian beliau memulai lagi dengan surah Ali ‘Imran hingga selesai. Beliau membaca dengan perlahan-lahan. Apabila beliau melewati ayat yang di dalamnya terdapat tasbih, beliau bertasbih. Apabila beliau melewati ayat yang berisi permintaan, beliau meminta. Dan apabila beliau melewati ayat yang berisi meminta perlindungan, beliau meminta perlindungan.
Kemudian beliau rukuk, lalu mulai mengucapkan, ‘SUBHAANA ROBBIYAL ‘AZHIIM’ (artinya: Mahasuci Rabbku Yang Maha Agung).’ Rukuk beliau sama seperti berdirinya, kemudian beliau mengucapkan, ‘SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, ROBBANAA LAKAL HAMDU (artinya: Semoga Allah mendengar kepada siapa saja yang memuji-Nya, Wahai Rabb kami, hanya milik-Mu lah segala puji).’ Kemudian beliau berdiri lamanya hampir sama dengan rukuknya. Lalu beliau sujud, kemudian mengucapkan, ‘SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA (artinya: Mahasuci Rabbku Yang Mahatinggi).’ Maka lama sujudnya hampir sama dengan berdirinya.’” [HR. Muslim, no. 772]
Teladan memperbanyak bacaan surat Al-Qur’an pada waktu shalat, juga dicontohkan oleh para sahabat dan ulama salaf. Imam an Nawawiy Rahimahullah dalam kitab beliau Attibyan Fii Adaab Hamalat Al Qur’an menjelaskan bahwa
وأما الذي يختم في ركعة فلا يحصون لكثرتهم فمن المتقدمين عثمان بن عفان وتميم الداري وسعيد بن جبير رضي الله عنهم ختمة في كل ركعة في الكعبة
“Adapun yang mengkhatamkan Al-Qur’an dalam satu raka’at shalat maka jumlahnya juga tidak dapat dihitung karena banyaknya. Diantara mereka yang termasuk shahabat senior adalah ‘Utsman bin ‘Affan, Tamiim Ad Daariy, Sa’iid bin Zubair Rodhiyallahu ‘anhum. Mereka mengkhatamkan Al Qur’an dalam satu raka’at ketika sholat di depan ka’bah.” [1]
Betapa pentingnya peran hafalan yang dimiliki oleh para Penghafal Al-Qur’an. Semakin banyak hafalan Al-Qur’an yang dimiliki, maka akan semakin panjang waktu shalat yang bisa dikerjakan, dan semakin besarlah peluang untuk meraih kualitas shalat terbaik.
Penghafal Al-Qur’an Paling Berhak Menjadi Imam
Diantara keutamaan para Penghafal Al-Qur’an adalah menjadikannya sebagai yang paling berhak menjadi imam shalat. Demikian karena di dalam shalat berjamaah, sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ , hendaknya kita menjadikan mereka yang paling faham dan yang paling banyak hafalannya untuk menjadi imam. Sebagaimana dalam sebuah hadits: Abu Mas’ud Al Anshori rodhiyallahu ‘anhu, Beliau mengatakan,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِى الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِى سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِى بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Rasulullah ﷺ mengatakan, “Yang menjadi imam dari suatu kaum adalah orang yang paling banyak hafalan terhadap Kitab Allah (Al-Qur’an), jika diantara mereka ada yang memiliki hafalan sama maka yang menjadi imam mereka adalah orang yang paling paham tentang sunnah Nabi (hadits) jika diantara mereka masih sama maka yang paling dahulu hijroh jika mereka dalam masalah hijroh sama maka yang lebih dahulu masuk islam. Janganlah seorang laki-laki menjadi imam seorang lelaki yang lain yang merupakan sulthonnya dalam daerah kekuasaan sulthon tersebut dan tidak pula di rumah orang yang di datanginya sebagai bentuk pemuliaan baginya kecuali atas izin orang tersebut” (HR. Muslim No. 672).
Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa orang yang paling pandai bacaan Al-Qur’annya dan paling banyak hafalannya lebih berhak menjadi imam shalat. Jika diantara jamaah tersebut sama hafalan Al-Qur’annya maka diutamakan yang lebih paham tentang hukum fiqih dan sunnah. Jika masih sama maka didahulukan yang terlebih dahulu hijrahnya. Jika masih sama maka didahulukan yang lebih dahulu masuk islam. Ada juga yang berpendapat bahwa terlebih dahulu hijrah adalah sinnan atau yang lebih tua usianya. Adapun ahlul bait atau tuan rumah lebih berhak mengimami di rumahnya dibandingkan tamunya. Begitu juga Wali suatu wilayah lebih berhak mengimami di wilayahnya dibandingkan pendatang. Kecuali jika wali tersebut telah menunjuk orang lain sebagai imam atas izinnya.
(Bersambung Bag. III)
Penulis adalah Pimpinan Islamic Center Wadi Mubarak, gelar Doktor Quranic Parenting disematkan setelah mempertahankan disertasi berjudul “Konsep Parenting (Al-Tarbiyah Al-Wâlidiyyah) dalam Al-Qur’an (Studi Analisis Sejarah Nabi Ya’qub A.S.)” di Universitas Ibnu Khaldun Bogor, tahun 2017.
[1] Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Attibyan Fii Adaab Hamalat Al Qur’an, dengan tahqiq Abu ‘Abdullah Ahmad bin Ibrohim Abul ‘Aynaiyn hal. 70-72 terbitan Maktabah Ibnu ‘Abbas, Kairo, Mesir.