Oleh: Gilang Eksa Gantara, Mahasiswa STIU WM semester 8
Kesalahan adalah hal yang biasa dilakukan manusia. Manusia, meski sebagai ciptaan terbaik Allah ﷻ, dibuat tidak lepas dari yang namanya kesalahan.
Maka dari itu, tidak mengherankan Allah ﷻ dengan seluruh kasih sayang-Nya akan mengampuni segala kesalahan kecuali syirik, sebagaimana Firman-Nya:
قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. az-Zumar: 53)
Di era global seperti sekarang, kabar seseorang berbuat salah juga bisa menyebar dengan cepat. Kesalahan tutur kata atau tingkah laku, sering membuat pelakunya dijatuhi sanksi sosial melebihi apa yang harusnya dia terima.
Terlepas dari menyesal atau tidaknya, khalayak umum bisa membuat situasi meja hijau dimana ribuan orang menjadi hakimnya sekaligus jaksa penuntut.
Seringkali objektifitas menjadi barang langka ketika massa bersuara. Suara kicauan para hakim juga seringkali hanya mencaci deviasi tanpa menghadirkan solusi.
Baca Juga: Menjadi Pendidik Yang Positif
Hal ini menimpa para pelaku kesalahan, baik salah secara agama ataupun di luar dari itu. Mulai dari kesalahan Asy’ariyyah (dari sudut pandang Ahl al-Hadits), kesalahan Salafiyyah (dari sudut pandang Asy’ariyyah), kesalahan fiqhiyyah, sampai yang berbentuk permasalahan sosial seperti pembunuhan, pencurian atau pelacuran; kita bisa melihat pola-pola ini.
Perlu cara pandang yang adil dalam menyikapi kesalahan orang lain, supaya timbangan keadilan kita tidak timpang dan hanya menjadi wajan kebencian.
Cara yang kita perlukan mesti bisa memahami kesalahan tersebut, tanpa membiarkan kebencian menjadi landasan dasar, juga tanpa mengurangi ketegasan akan tatatan wilayah syari’at-nya.
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِٱلْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ٱعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ وَٱتَّقُوا ٱللَّهَ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. al-Ma’idah: 8)
Ide-ide kebaikan yang acap kali tidak terealisasi, menyebabkan kita bersikap mendua. Beda sikap ketika bicara idealita dan beda sikap pula ketika bicara realita. Gap of the idea and reality, menjadikan hidup layaknya panggung sandiwara.
Di atas panggung kita berbicara tentang keindahan, tapi di balik panggung hanya ada kegelapan, barang-barang lusuh dan tikus. Tanpa disadari, ide-ide kita yang dulu dipegang erat, semakin rapuh ketika kita mengetahui jurangnya dengan realita. Ya, kita tumbuh menjadi munafik.
Baca Juga Madrasah Online: Syarat Sah Shalat
Seringkali sebuah kesalahan atau dosa hanya dilihat sebagai laku buruk yang hukumannya sudah diatur syariat, tanpa ada atau minim upaya terlebih dahulu untuk memahami penyebab dan situasi yang mendorong lahirnya perbuatan tersebut.
Di sisi lain, realitas duniawi juga menyebabkan kita hanya cukup memaklumi mengapa suatu kesalahan terjadi, tanpa memerhatikan hukum agamanya seperti apa.
Syaikh Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin menyebutkan dua perspektif yang harus ditinjau ketika melihat ahl al-ma’ashi (ahli maksiat); yaitu ‘ayn asy-syar’i dan ‘ayn al-qadr.
‘Ayn asy-syar’i berarti bagaimana kita melihat mereka dari sudut pandang hukum; maka perlu peninjauan secara ilmiah tentang apa yang mereka lakukan dan apa hukumnya. Ini melibatkan pencarian jawaban dari ‘apa’ dengan menyelidiki nash-nash agama.
Baca Juga: STIU Wadi Mubarak Menggelar Kuliah Umum Bersama Wakil Ketua MPR RI
Sisi koin sebelahnya, ‘ayn al-qadr menurut asy-Syaikh adalah melihat maksiat tersebut sebagai qadar Allah ﷻ untuk membiarkan syaitan menggoda mereka. Sehingga rasa kasih-sayang akan timbul terhadap mereka dan kebencian teralih kepada syaitan yang menjerumuskan pelakunya.
Tapi, perlu pendekatan baru bagi kita, untuk melihat lebih jauh sebab-sebab apa saja yang menyebabkan syaitan sampai bisa menggodanya; disini peninjauan sosial dan emosional berlaku untuk menjawab ‘mengapa’.
Lalu dari kedua jawaban yang kita dapat; apa hukumnya dan mengapa terjadi, baru kita bisa melebur keduanya dan menarik sebuah simpulan mengenai ‘bagaimana’ yang harus kita lakukan bersama.
Inilah bagaimana seharusnya cara pandang kita terhadap orang-orang yang terjerumus pada kesalahan agar kita bisa adil tanpa membenci sebagaimana akar kata kerja meng-adil-i. Dan bukan hanya mencibir apalagi mencaci. ()
Editor: ARH//Al.Choer
Baca Sebelumnya Thaharah Bersuci